BAB
1
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Hati
merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia. Di dalam hati terjadi proses-proses penting bagi kehidupan kita,
yaitu proses penyimpanan energi, pengaturan metabolisme kolesterol, dan
peneralan racun/obat
yang masuk dalam tubuh kita. sehingga dapat kita bayangkan akibat yang akan
timbul apabila terjadi kerusakan pada hati.
Sirosis hepatis adalah suatu penyakit
di mana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh system
arsitekture hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi
penambahan jaringan ikat ( firosis ) di sekitar paremkin hati yang mengalami
regenerasi. sirosis didefinisikan sebagai proses difus yang di karakteristikan
oleh fibrosis dan perubahan strukture hepar normal menjadi penuh nodule yang
tidak normal.
Peradangan sel hati yang luas dan
menyebabkan banyak kematian sel menyebabkan banyaknya terbentuk jaringan ikat
dan regenerasi noduler dengan berbagai ukuran yang di bentuk oleh sel paremkim
hati yang masih sehat.
akibatnya bentuk hati yang normal akan berubahdisertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena pota yang akhirnya menyebakan hipertensi portal.
akibatnya bentuk hati yang normal akan berubahdisertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena pota yang akhirnya menyebakan hipertensi portal.
Penyebab sirosis hati beragam. selain
disebabkan oleh virus hepatitis B ataupun C, bisa juga di akibatkan oleh
konsumsi alkohol yang berlebihan, bergai macam penyakit metabolik, adanya
ganguan imunologis, dan sebagainya.
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ke tiga pada pasien yang berusia 45 – 46 tahun ( setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker ). di seluruh dunia sirosis menempati urutan ketujuh penyebab kematian, 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat .
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ke tiga pada pasien yang berusia 45 – 46 tahun ( setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker ). di seluruh dunia sirosis menempati urutan ketujuh penyebab kematian, 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat .
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang asuhan
keperawatan pada pasien
dengan penyakit sirosis hepatis untuk memudahkan kita sebagai calon perawat dalam merawat
pasien dengan penyakit sirosis hepatis .
B.
Tujuan
1.
Tujuan Umum
Untuk mendapatkan
gambaran secara nyata dalam melaksanakan asuhan keperawatan klien sirosis hepatis.
2.
Tujuan khusus
Untuk memperoleh gambaran nyata mengenai:
a.
Pengkajian klien sirosis hepatis
b.
Diagnosa yang mungkin timbul pada klien
sirosis hepatis
c.
Intervensi yang akan dilaksanakan pada klien
sirosis hepatis
d.
Pelaksaan tindakan keperawatan pada klien sirosis hepatis
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Konsep
Medik
1.
Definisi:
a. Siarosis hepatis adalah penyakit kronis hati akibat
tersumbat saluran empedu serta pus sehingga timbul ajaringan baru yabg
berlebihan yang tidak berhubungan yang
di kelilingi oleh jaringan perut (bruner and sudarth).
b. Siarosis
hepatis adalah penyakit yang difus di
tandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul .(marillyn E. Doengoes
1996)
c. Sirosis
hepatis adalah penyakit yang ditandai dengan adanya peradangan difus dan
membran pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan
regresi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati
(Mansjoer, 2001).
Kesimpulan:
Dari beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa siarosis hepatis
adalah penyakit menahun di
tandi dengan adanya gangguan struktur hati
yaitu timbulnya jaringan
baru yang berlebihan dan tidak saling berhubungan
yang di kelilingi oleh
jaringan perut serta gangguan aliran darah ke hati.
2.
Anatomi
dan Fisiologi:
Hati merupakan
kelenjar
terbesar di dalam tubuh
manusia. Hati terletak di belakang tulang-tulang iga
(kosta) dalam rongga abdomen daerah kanan atas. Hati memiliki berat sekitar
1500 gram, dan dibagi menjadi empat lobus. Setiap lobus hati terbungkus oleh
lapisan tipis jaringan ikat yang membentang ke dalam lobus itu sendiri dan
membagi massa hati menjadi unit-unit yang lebih kecil, yang disebut lobulus.
Permukaan atas
terletak bersentuhan di bawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan
di atas organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan
intraabdominal dan dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah
posterior-superior yang berdekatan dengan v.cava inferior dan mengadakan kontak
langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak diliputi oleh peritoneum disebut
bare area. Hepar
diperdarahi oleh dua pembuluh darah utama yang mensuplai hati yaitu arteri
hepatica dan vena porta. Hati menerima darah teroksigenasi dari arteri hepatica
dan darah yang tidak teroksigenasi tetapi kaya akan nutrien dari vena porta
hepatica. Vena porata pembawa darah yang mengandung nutrisi yang berasal dari
lambung, usus halus, kolon, pancreas, lien ke hati. Terdapat refleksi peritoneum dari
dinding abdomen anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa
ligamen.
Macam-macam ligamen:
1.
Ligamentum falciformis: Menghubungkan
hepar ke dinding ant. abd dan terletak di antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum
teres hepatis = round ligament: Merupakan bagian bawah lig. falciformis;
merupakan sisa-sisa peninggalan v.umbilicalis yg telah menetap.
3. Ligamentum
gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis: Merupakan bagian dari omentum
minus yg terbentang dari curvatura minor lambung dan duodenum sblh prox ke
hepar. Di dalam ligamentum ini terdapat Aa.hepatica, v.porta dan
duct.choledocus communis. Ligamen hepatoduodenale turut membentuk tepi anterior
dari Foramen Wislow.
4. Ligamentum
Coronaria Anterior ki–ka dan Lig coronaria posterior ki-ka: Merupakan refleksi
peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar.
5. Ligamentum
triangularis ki-ka: Merupakan fusi dari ligamentum coronaria anterior dan
posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.Secara anatomis, organ
hepar terletak di hipochondrium kanan dan epigastrium, dan melebar ke hipokondrium kiri. Hepar
dikelilingi oleh cavum toraks dan bahkan pada orang normal tidak dapat
dipalpasi (bila teraba berarti ada pembesaran hepar).
3.
Etiologi:
Beberapa hal yang menjadi penyebab
sirosis hepatis adalah (Fkui, 1996):
1. Hepatitis virus tipe B dan C
2.
Alkohol
3.
Metabolik
: DM
4.
Kolestatis
kronik
5.
Toksik
dari obat : INH
6. Malnutrisi
4.
Kasifikasi:
Secara makroskopik, sirosis dibagi
atas :
a. Sirosis mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, didalam
septa parenkim hati mengandung nodul halus dan kecil merata diseluruh lobus,
besar nodulnya sampai 3 mm. Sirosis mikronodular ada yang berubah menjadi
makronodular.
b.
Sirosis
makronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan
bervariasi, dengan besar nodul lebih dari 3 mm.
c.
Sirosis
campuran
Umumnya sirosis hepatis adalah jenis campuran ini.
Selain klasifikasi diatas, sirosis hepatis
terbagi dalam 3 pola yaitu :
a. Sirosis laennec/sirosis alkoholik,
portal dan sirosis gizi
Sirosis ini berhubungan dengan penyalahgunaan alkohol
kronik. Sirosis jenis ini merupakan 50% atau lebih dari seluruh kasus sirosis.
Perubahan pertama pada hati yang ditimbulkan alkohol adalah akumulasi lemak
secara gradual didalam sel-sel hati (infiltrasi lemak).Akumulasi lemak
mencerminkan adanya sejumlah gangguan metabolik. Pada kasus sirosis laennec
yang sangat lanjut, membagi parenkim menjadi nodula-nodula halus. Nodula-nodula
ini dapat membesar akibat aktifitas regenerasi sebagai usaha hati untuk
mengganti sel-sel yang rusak. Hati tampak terdiri dari sarang-sarang sel-sel
degenerasi + regenerasi yang dikemas padat dalam kapsula fibrosa yang tebal.
Pada keadaan ini sirosis sering disebut sebagai sirosis nodular halus.Hati akan
menciut, keras dan hampir tidak memiliki parenkim normal pada stadium akhir
sirosis, dengan akibat hipertensi portal dan gagal hati.
b.
Sirosis
post nekrotik
Terjadi menyusul nekrosis berbercak pada jaringan hati,
menimbulkan nodula-nodula degeneratif
besar dan kecil yang dikelilingi dan dipisah-pisahkan oleh jaringan parut,
berselang-seling dengan jaringan parenkim hati normal. Sekitar 25% kasus
memiliki riwayat hepantis virus sebelumnya. Banyaknya pasien dengan hasil tes
HbsAg positif menunjukkan bahwa hepatitis kronik aktif agaknya merupakan
peristiwa yang besar peranannya.Beberapa kasus berhubungan dengan intoksikasi
bahan kimia industri, dan ataupun obat-obatan seperti fosfat, kloroform dan
karbon tetraklorida/jamur beracun. Sirosis jenis ini merupakan predisposisi
terhadap neoplasma hati primer.
c.
Sirosis
Billaris
Kerusakan sel hati dimulai disekitar duktus billaris,
penyebabnya obstruksi billaris post hepatik. Sifat empedu menyebabkan
penumpukan empedu didalam masa hati dengan akibat kerusakan sel-sel hati,
terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi lobulus.Sumber empedu sering ditemukan
dalam kapiler-kapiler,duktulus empedu dan sel-sel hati seringkali mengandung
pigmen hijau.
5.
Patofisiologi:
Hati pada awal perjalanan penyakitnya cenderung membesar dan
sel-selnya dipenuhi oleh lemak-lemak.
Hati tersebut menjadi keras dan dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen
dapat terjadi akibat pembesaran hati yang cepat sehingga menyebabkan regangan
pada selubung fibrosa hati (kapsule glissoni). Pada perjalanan penyakit yang
lebih lanjut ukuran hati akan mengecil setelah jaringan parut menyebabkan
pengerutan jaringan. Apabila dapat dipalpasi maka permukaan hati akan teraba
benjol-benjol (Brunner, 2001).
Sirosis Laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh
episode nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang di
sepanjang perjalanan penyakit tersebut. Sel-sel hati tersebut secara berangsur-angsur
digantikan oleh jaringan parut. Akhirnya jumlah jaringan parut melebihi jumlah
jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih
tersisa dan jaringan hati hasil regeneasi dapat menonjol dari
bagian-bagian yang berkonstruksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan
gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.
Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidius dan perjalanan penyakit
yang sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun atau
lebih (Brunner, 2002).
Varises esofagus merupakan pembuluh darah yang berdilatasi,
berkelok-kelok dan biasanya dijumpai pada sub mukosa bagian bawah, namun
varises ini dapat terjadi pada bagian lebih tinggi atau meluas sampai ke
lambung. Keadaaan semacam ini hampir selalu disebabkan oleh hipertensi portal
yang terjadi obstruksi pada saluran vena porta, pada hati yang mengalami
serosis.
Peningkatan obstrukisi pada vena
porta menyebabkan darah vena dari traktus intestinal dan limpa akan mencari jalan keluar melalui
kolateral (lintasan baru untuk kembali ke atrium kanan). Akibat yang
ditimbulkan adalah peningkatan tekanan, khusunya adalah pembuluh darah
pada lapisan submukosa esofagus bagian bawah dan lambung bagian atas.
Pembuluh-pembuluh kolateral ini tidak bersifat elastis tapi bersifat rapuh,
berkelok-kelok dan mudah mengalami perdarahan. Penyebab varises lainya yang
lebih jarang ditemukan adalah kelainan sirkulasi dalam vena linealis atau vena
kava superior dan trombosis vena hepatika.
Varises esofagus yang mengalami perdarahan dapat menyebabkan
kematian dan menyebabkan syok haemorargik yang menyebabkan penurunan perfusi
serebral, hepatik serta ginjal. Selanjutnya akan terjadi peningkatan beban
nitrogen akibat perdarahan kedalam traktus gastrointestinal dan kenaikan kadar
amonia serum yang meningkatkan resiko encefalopati. Kemungkinan terjadinya
perdarahan pada varises esofagus harus dicurigai jika ada hematemisis dan
melena, khususnya pada klien yang biasa mengkonsumsi minuman keras.
Vena yang mengalami dilatasi biasanya tidak mengalami gejala
kecuali jika ada peningkatan tekanan
porta yang tajam dan mukosa atau struktur yang menyangga menjadi tipis,
sehingga kemungkinan akan timbul haemorargik masif.
Faktor-faktor yang menimbulkan
perdarahan bisa jadi dari mengangkat barang berat, mengejan pada saat defekasi, bersin, batuk
atau muntah, esofagitis, atau iritasi pembuluh darah akibat makan makanan yang
tidak dikunyah dengan baik atau minum cairan yang merangsang. Salisilat dan
setiap obat yang dapat menimbulkan erosi mukosa, serta mengganggu replikasi sel
dapat pula menyebabkan perdarahan.(Brunner, 2000)
6.
Manefestasi
klinik:
1. Gejala terjadi akibat perubahan
morfologi dan lebih menggambarkan beratnya kerusaka yang tejadi.
Didapatkan gejala dan tanda sebagai berikut :
a. Gejala-gejala gastrointestinal yang
tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah
dan diare.
b. Demam, berat badan turun dan lekas
lelah
c. Asites, hidrothoraks dan edema.
d. Ikterus, kadang-kadang urine menjadi
lebih tua warnanya atau kecoklatal.
e. Hepatomegali, bila telah lanjut hati
dapat mengecil karena fibrosis. Bila secara klinis didapati adanya demam,
ikterus dan asites, dimana demam bukan karena sebab-sebab lain, dikatakan
Sirois dalam keadaan aktif.
f. Hati-hati akan timbulnya prekoma dan
koma hepatikum.
g. Kelainan pembuluh darah seperti
kolateral-kolateral di dinding abdomen dan thoraks, kaput medusa, wasir dan varises esofagus.
7. Komplikasi:
1. Komplikasi menurut Brunner (2000)
ada dua yaitu:
a. Perdarahan dan hemorargia
b. Ensefalopati hepatic
2. Komplikasi menurut Mansjoer (2001)
ada dua yaitu:
a. Hematemisis melena
b. Koma hepatikum
3. Komplikasi menurut Engram (2000) ada
empat yaitu:
a. Encefalo hepatik yang disebabkan
oleh peningkatan kadar amonia darah.
b. Asites ruang disebabkan oleh
ekstravasase cairan serosa ke dalam rongga
peritoneal yang disebabkan oleh peningkatan hipertensi portal,
peningkatan reabsorpsi ginjal terhadap natrium dan penurunan albumin serum.
c. Sindrom hepatorenal yang disebabkan
oleh dehidrasi atau infeksi.
d. Gangguan endokrin yang disebabkan
oleh depresi sekresi gonadotropi
8.
Pemeriksaan Diagnostik:
a. Pemeriksaan
Laboratorium
1. Pada
darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom nomosister, hipokrom
mikrosister/hipokrom makrosister.
2. Kenaikan
kadar enzim transaminase-SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat ringannya
kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran
dari sel yang rusak, pemeriksaan billirubin, transaminase dan gamma GT tidak
meningkat pada sirosis inaktif.
3. Albumin
akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga globulin yang
naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.
4. Pemeriksaan
CHE (kolinesterasi). Ini penting karena bila kadar CHE turun, kemampuan sel
hati turun, tapi bila CHE normal/tambah turun akan menunjukkan prognosis jelek.
5. Kadar
elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam diet,
bila ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukkan kemungkinan telah
terjadi sindrom hepatorenal.
6. Pemeriksaan
marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg, HcvRNA, untuk menentukan
etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (Alfa Feto Protein) penting dalam
menentukan apakah telah terjadi transformasi ke arah keganasan.
b. Pemeriksaan
penunjang lainnya:
1. Radiologi
: dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises esophagus untuk konfirmasi
hipertensi portal.
2. Esofagoskopi
: dapat dilihat varises esophagus sebagai komplikasi sirosis hati/hipertensi
portal.
3. Ultrasonografi
: pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan sebagai alat pemeriksaan
rutin pada penyakit hati.
9.
Penatalaksanaan
Medis:
Terapi
dan prognosis sirosis hati tergantung pada derajat komplikasi kegagalan hati
dan hipertensi portal. Dengan kontrol pasien yang teratur pada fase dini akan
dapat dipertahankan keadaan kompensasi dalam jangka panjang dan kita dapat memperpanjang
timbulnya komplikasi.
1. Diet rendah protein diet hati III :
Protein 1g/kg bb, 55g protein, 200 kalori), bila ada asites diberikan diet
rendah garam II (600-800 mg) atau III (1000-2000 mg). Bila proses tidak aktif,
diperlukan diet tinggi kalori (2000-3000) dan tinggi protein (80-125g/hari).
2. Bila ada tanda-tanda prekoma atau
koma hepatikum, jumlah protein dalam makanan dihentikan (diet hati I )untuk
kemudian diberikan sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan tubuh.
Pemberian protein yang melebihi kemampuan klien atau meningginya hasil
metabolisme protein dalam darah viseral dapat mengakibatkan timbulnya koma
hepatikum. Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.
3. Mengatasi infeksi dengan antibiotik,
dengan pengunaan obat-obatan yang jelas tidak hepatotoksik.
4. Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu
dengan memberikan asam aminoesensial berantai cabang dan glukosa.
5. Pemberian robboransia. Vitamin B
kompleks.
B.
Konsep
Askep
1. Pengkajian menurut (Doenges,
dkk 2000)
a. Aktivitas atau istirahat, adanya
kelemahan, kelelahan, letargi, penurunan masa otot atau tonus.
b. Sirkulasi
Riwayat
perikarditis, penyakit jantung rematik, kanker (tidak berfungsinya hati
menyebebkan gagal hati), disritmia, distensi pembuluh darah perut
c. Eliminasi
Flatus,
distensi abdomen, hepatomegali, splenomegali, asites, penurunan atau tidak
adanya peristaltik usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap dan pekat
d. Makanan atau cairan
Anoreksia,
tidak toleran terhadap makanan, mual, muntah, penurunan BB, edema umum pada
jaringan, nafas berbau, perdarahan gusi.
e. Neurosensori
Perubahan
kepribadian, penurunan mental, bingung, bicara lambat, tidak jelas atau koma.
f. Nyeri atau kenyamanan
Nyeri
tekan abdomen atau nyeri dikuadran kanan atas, pruritis, neuronefritis perifer.
g. Pernapasan
Dispneaa,
takipnea, pernapasan dangkal, bunyi nafas tambahan, ekspansi paru terbatas,
hipoksia.
h. Keamanan
Pruritus,
demam, ikterik, eritema palmaris, ptechie
i.
Aspek
psikologis
Konsep
diri, keadaaan emosional, pola interaksi, mekanisme kopping.
j.
Aspek
sosial
Hubungan
yang berarti, budaya keluarga, lingkungan keluarga
k. Aspek spiritual
Agama,
keyakinan tentang sehat dan sakit, nilai kegiatan agama
2. Diagnosa keperawatan
a. Resiko injuri b/d anemia,
trombositopenia, leukopenia, gangguan mekanisme pembekuan darah, penurunan
kesadaran dan perdarahan gastrointestinal.
b. Aktual atau resiko pola nafas tidak
efektif b/d ekspansi menurun.
c. Intoleransi aktivitas b/d cepat
lelah, kelemahan fisik umum sekunder dari perubahan metabolisme sistemik
d. Kekurangan volume cairan b/d diare
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan untuk memproses dan mencerna makanan
f. Resiko kerusakan integritas kulit
b/d gatal-gatal
g. Resiko infeksi b/d pertahanan primer
tidak adekuat (leukopenia)
3. Intervensi:
a. Resiko injuri b/d anemia,
trombositopenia, leukopenia, gangguan mekanisme pembekuan darah, penurunan
kesadaran dan perdarahan gastrointestinal.
Tujuan:
dalam waktu 2x24 jam pasca intervensi pasien tidak mengalami
injuri.
Intervensi:
1.
Kaji
faktor resiko injuri pada pasien sirosis hepatis
R/: factor resiko injuri pada pasien sirosis bervariasi.
Kondisi
anemia akan
meningkatkan gangguan dalam pengikatan O2 ke
jaringan.
2.
Kaji
status neurologis dan laporkan apabila terdapat perubahan status neurologis.
R/: pengkajian status neurologis dilakukan pada setiap pergantian
sif jaga. Setiap
adanya perubahan status neurologis merupakan
salah satu tanda
terjadi komplikasi bedah.
3.
Berikan
terapi sesuai pesanan
R/: terapi dapat mencakup penggunaan laktulosa, serta
antibiotic
saluran cerna
yang tidak dapat diserap untuk menurunkan kadar
ammonia.
4.
Lakukan
tirah baring pada pasien
R/: istirahat akan mengurangi kebutuhan dalam hati dan
meningkatkan
suplai darah di hati dan untuk mencegah
gangguan
pernafasan, sirkulasi dan vascular.
5.
Beri
posisi duduk dan O2 3L/menit
R/: untuk mencapai status pernafasan yang efesien dan
maksimal
b.
Aktual
atau resiko pola nafas tidak efektif b/d ekspansi menurun.
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi perubahan pola
nafas
Intervensi:
1.
Kaji
factor penyebab pola nafas tidak efektif
R/: mengidentifikasi untuk mengatasi penyebabdasar dari
alkalosis
2.
Kaji
TTV
R/: perubahan TTV akan memberikan dampak pada resiko
alkalosis
yang bertambah
berat dan berindikasi pada intervensi untuk
secepatnya
melakukan koreksi alkalosis
3.
Istirahatkan
pasien dengan posisi fowler
R/: posisi fowler akan meningkatkan
ekspansi paru optimal. Istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan
tenaga cadangan jantung dan menurunkan tekanan darah.
4.
Ukur
intake dan output
R/: penurunan curah jantung mengakibatkan perfusi ginjal,
retensi
natrium/air, dan
penurunan urine output.
5.
Beri
lingkungan tenang dan batasi pengunjung
R/: lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri
eksternal
dan pembatasan
pengunjung akan membantu meningkatkan
kondisi oksigen
ruangan yang akan berkurang apabila banyak
pengunjung yang
berada di ruangan.
6.
Beri
O2 3L/menit
R/: terapi pemeliharaan untuk kebutuhan oksigenasi.
c.
Intoleransi
aktivitas b/d cepat lelah, kelemahan fisik umum sekunder dari perubahan
metabolisme sistemik.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam perawatan diri pasien optimal
sesuai tingkat toleransi individu
Intervensi:
1.
Kaji
perubahan pada sistem saraf pusat dan status kardiorespirasi
R/: identifikasi terhadap kondisi penurunan tingkat
kesadaran,
khususnya pada
pasien sirosis hepatic dengan ensefalopati.
2.
Pantau
respon individu terhadap aktivitas
R/: beberapa pasien sirosis hepatis lebih banyak berhubungan
dengan kondisi
penurunan fungsi hati dengan manifestasi
anemia, cepat
lelah, kondisi ini dipertimbangkandalam
memenuhi
aktivitas pasien sehari-hari.
3.
Tingkatkan
aktivitas secara bertahap
R/: intervensi ini memudahkan pemulihan pada pasien sirosis
hepatis,
pascaevakuasi cairan asites dan pasien yang
mempunyai
toleransi yang membaik.
4.
Ajarkan
pasien metodepenghematan energy untuk aktivitas
R/: metode penghematan energy dapat mengurangi kebutuhan
metabolisme pada
pasien sirosis hepatis.
5.
Berikan
bantuan sesuai tingkat toleransi ( makan, minum, mandi, berpakaian dan
eliminasi).
R/: teknik penghematan energy menurunkan penggunaan energy
6.
Bantu
aktivitas sehari-hari pasien
R/: perawat mambantu memfasilitasi kebutuhan pasien untuk
melakukan
perawatan diri, kebutuhan eliminasi masih dilakukan
di tempat tidur.
Menjaga kewaspadaan umum yaitu dengan
menggunakan
sarung tangan, celemek dan masker khususnya
pada pasien
sirosis hepatis dengan riwayat hepatitis B & C.
d. Kekurangan volume cairan b/d diare
Tujuan:
mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, turgor kulit
baik, pengisian kapiler, nadi perifer kuat, dan haluaran urine individu sesuai.
Intervensi:
1. Awasi masukan dan haluaran,
bandingkan dengan berat badan harian.
R/: memberikan informasi tentang kebutuhan penggantian/efek
terapi.
2. Kaji tanda vital, nadi perifer,
pengisian kapiler, turgor kulit, dan membrane mukosa.
R/:
indicator volume sirkulasi/perkusi.
3. Periksa asites atau pembentukan
edema. Ukur lingkar abdomen sesuai indikasi.
R/:
menurunkan kemungkinan perdarahan kedalam jaringan.
4. Observasi tanda perdarahan contohnya
hematuria/melena, ekimosis.
R/: kadar protombin menurun dan waktu koagulasi memanjang
bila absorbs vitamin K terganggu pada traktus GI dan sintesis protombin menurun
karena mempengaruhi hati.
5. Awasi nilai laboratorium, contohnya
HB/HT, Na+ albumin, dan waktu pembekuan.
R/: menunjukkan hidrasi dan mengidentifikasi retensi
natrium/kadar protein yang dapat menimbulkan pembentukan edema.
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan untuk memproses dan mencerna makanan.
Tujuan:
menunjukkan peningkatan berat badan progresif mencapai tujuan dengan nilai
laboratorium normal dan tidak mengalami tanda malnutrisi lebih lanjut.
Intervensi:
1. Ukur masukan diet harian dengan
jumlah kalori
R/:
memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan/ defisiensi
2. Dorong pasien untuk makan semua
makanan/ makanan tambahan
R/: pasien mungkin hanya makan sedikit karena kehilangan
nafsu
makan dan
mengalami mual, kelemahan umum, malaise.
3.
Berikan
makanan sedikit dan sering
R/: buruknya toleransi terhadap makan banyak berhubungan
dengan
peningkatan
tekanan intraabdomen/asites.
4.
Berikan
makanan halus, hindari makanan kasar sesuai indikasi.
R/: perdarahan dari varises esophagus dapat terjadi pada
sirosis berat.
5.
Anjurkan
menghentikan merokok.
R/: menurunkan rangsangan gaster berlebihan dan resiko
iritasi/perdarahan.
6.
Berikan
obat sesuai indikasi, contoh: tambahan vitamin, tiamin, besi, asam folat.
R/: pasien biasanya kekurangan vitamin karena diet yang
buruk
sebelumnya. Juga
hati yang rusak tidak dapat menyimpan vit A,
B komplek, D dan
K. Juga dapat terjadi kekurangan besi dan
asam folat yang
menimbulkan anemia.
f. Resiko kerusakan integritas kulit
b/d gatal-gatal
Tujuan:
dalam waktu 3x24 jam tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Intervensi:
1. Kaji terhadap kekeringan kulit,
pruritis, spider navi dan infeksi.
R/:
perubahan mungkin disebabkan oleh penurunan aktivitas
kelenjar keringat
atau pengumpulan bilirubin pada vascular
integumen.
2. Kaji terhadap adanya petekie dan
purpura.
R/: perdarahan yang abnormal sering dihubungkan dengan
penurunan jumlah
dan fungsi platelet akibat hepatitis.
3. Monitor area yang mudah dijangkau
pasien untuk menggaruk.
R/:
area-area ini sangat mudah terjadinya injuri.
4. Anjurka pasien melakukan distraksi
pada saat respon gatal.
R/: intervensi
untuk menurunkan respon gatal.
5. Gunting kuku dan pertahankan kuku
terpotong pendek dan bersih.
R/: menghindari iritasi integumen akibat bekas garukan dari
kuku
pasien yang
panjang.
g. Resiko infeksi b/d pertahanan primer
tidak adekuat (leukopenia)
Tujuan: menunjukkan
teknik melakukan perubahan pola hidup untuk menghindari infeksi.
1. Hitung darah lengkap, perhatikan
apakah leukosit menurun atau tiba-tiba terjadi perubahan pada neutrofril.
R/: penurun jumlah leukosit normal dapat diakibatkan proses
penyakit atau
kemoterapi, menyebabkan respon imun dan
peningkatan
resiko infeksi.
2. Observasi tanda infeksi contohnya
demam dan distres pernafasan berhubungan dengan ikterik.
R/: ikterik kolestatik dan penurunan fungsi hati mungkin
tanda
pertama sepsis
dari organisme gram negative.
3. Berikan diet rendah bakteri,
misalnya makanan dimasak, diproses.
R/:
meminimalkan sumber potensial kontaminasi bacterial.
4. Berikan antibiotik tepat untuk agen
pencegahan atau proses sekunder.
R/: untuk
mencegah atau membatasi infeksi sekunder.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sirosis Hepatis
adalah
penyakit menahun di tandi dengan adanya gangguan struktur hati yaitu timbulnya
jaringan baru yang berlebihan dan tidak saling berhubungan yang di kelilingi
oleh jaringan perut serta gangguan aliran darah ke hati
B. Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan kita harus mengetahui
tentang penyakit sitosis ini,hal ini ditujukan apabila mahasiswa
menemukan kasus penyakit sirosis hepatis di lingkungannya,mahasiswa dapat melakukan tindakan
lebih awal dengan meminta pasien memeriksakan dirinya ke dokter. Selainn itu
asuhan keperawatan pada klien dengan sirosis sangat penting dipelajari siswa
agar siswa dapat membuat asuhan keperawatan pada klien dengan sirosis dan
merawat klien jika berhadapan langsung dengan klien dengan sirosis hepatis.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges,
M .E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta
Engram,
B, 1999, Rencana asuhan Keperawatan, volume 3, EGC, Jakarta
Gallo,
H, 1996, Keperawatan Kritis, volume 2, EGC, Jakarta
NANDA,
2005, Nursing diagnosis, Philadelphia the assocation, Philadelphia
Priharjo,
R, 1993, Pengkajian Fisik Keperawatan, EGC, Jakarta
Suddart,
B, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8, EGC, Jakarta
Waspandji,
S, 1987, Ilmu Penyakit Dalam, Balai penerbit , edisi 2, FKUI, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar