BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kolon
(termasuk rektum) merupakan keganasan cairan cerna yang paling sering. Kanker
kolon merupakan pnyebab ketiga dari semua kematian akibat kanker di Amerika
Serikat, baik pada pria maupun wanita (America Cancer Society, 2001). Kanker usus
besar biasanya merupakan penyakit yang terjadi pada orang tua, dengan insidensi
puncak pada usia 60 tahun dan 70 tahun. Kanker kolon jarang ditemukan pada usia
40 tahun, kecuali pada orang yang memiliki riwayat kolitis ulseratif atau
poliposis familial. Kedua jenis kelamin terserang dalam jumlah sama.
Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya,
kira- kira setengah dari jumlah tersebut meninggal setiap tahunnya, meskipun
sekitar tiga dari empat pasien dapat diselamatkan dengan diagnosis dini dan
tindakan segera. Angka kelangsungan hidup di bawah lima tahun adalah 40% sampai
50%, terutama karena terlambat dalam diagnosis dan adanya metastase. Kebanyakan
orang asimtomatis dalam jangka waktu lama dan mencari bantuan kesehatan hanya
bila mereka menemukan perubahan pada kebiasaan defekasi atau perdarahan rektal.
Penyebab nyata
dari kanker kolon dan rektal tidak diketahui, tetapi faktor resiko telah
teridentifikasi, termasuk riwayat atau riwayat kanker kolon atau polip dalam
keluarga, riwayat penyakit usus inflamasi kronis dan diet tinggi lemak, rotein
dan daging serta rendah serat.
B.
TUJUAN
1. Tujuan
Umum:
Mahasiswa dapat
memahami dan memberikan asuhan
keperawatan dengan klien Kanker Colon.
2. Tujuan
Khusus:
a. Mahasiswa
dapat memahami dan menjelaskan tentang konsep medis dari askep pada klien
dengan Kanker Colon, yang konsepnya terdiri dari defenisi, anatomi dan
fisiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, patoflowdiagram, manifestasi
klinik, komplikasi, pemeriksaan diagnostik, dan penetalaksanaan medis.
b. Mahasiswa
dapat memahami, menentukan, dan menjelaskan tentang konsep keperawatan dari
askep pada klien dengan Kanker Kolon, yang konsepnya terdiri dari pengkajian
keperawatan, diagnosa keperawatan dan intervensi keperawatan (dengan rasionalnya).
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
A. KONSEP MEDIS
- Definisi
a. Neoplasma /
Kanker adalah pertumbuhan baru (atau tumor) massa yang tidak normal akibat
proliferasi sel-sel yang beradaptasi tanpa memiliki keuntungan dan tujuan.
Neoplasma terbagi atas jinak atau ganas. Neoplasma ganas disebut juga sebagai
kanker(cancer). (SylviaA Price, 2005).
b. Karsinoma
atau kanker kolon ialah keganasan tumbuh lambat yang paling sering ditemukan
daerah kolon terutama pada sekum, desendens bawah, dan kolon sigmoid. Prognosa
optimistik; tanda dan gejala awal biasanya tidak ada. (Susan Martin Tucker,1998).
c. Kanker kolon
adalah suatu bentuk keganasan dari masa abnormal/neoplasma yang muncul dari
jaringan epithelial dari colon (Brooker, 2001 : 72).
d. Kanker
kolon/usus besar adalah tumbuhnya sel kanker yang ganas di dalam permukaan usus
besar atau rektum (Boyle & Langman, 2000 : 805).
e. Kanker kolon
adalah pertumbuhan sel yang bersifat ganas yang tumbuh pada kolon dan
menginvasi jaringan sekitarnya (Tambayong, 2000 : 143).
- ANATOMI FISIOLOGI
a. Anatomi
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular
berongga dengan panjang sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum
hingga kanalis ani. Diameter usus besar
sudah pasti lebih besar daripada usus kecil,yaitu sekitar 6,5 cm(2,5 inci)
tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. Usus besar di bagi menjadi
sekum,kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang
melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar atau tiga inci pertama dari
usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum kedalam sekum
dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus
halus.
Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum,
desendens, dan sigmoid. Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan
dan kiri atas berturut-turut disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura
lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan
berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu
dengan rektum, dan hal ini merupakan alasan anatomis mengapa memosisikan
penderita ke sisi kiri saat pemberian enema. Pada posisi ini gaya gravitasi
membantu mengalirkan air dari rektum ke fleksura sigmoid. Bagian utama usus
besar yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid
hingga anus ( muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum
disebut sebagai kanalis ani dan
dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan
kanalis ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci).
Hampir semua usus besar memiliki empat lapisan
morfologik seperti yang ditemukan pada usus lain. Namun demikian ,ada beberapa
gambaran yang khas terdapat pada usus besar saja. Lapisan otot longitudinal
usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga pita yang di sebut
sebagai taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal, sehingga
rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenia
lebih pendek daripada usus, sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk
kantong-kantong kecil yang disebut sebagai haustra.
Apendises epiploika adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi
lemak dan melekat di sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh
lebih tebal daripada lapisan mukosa usus
halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kripte Lieberkuhn (kelenjar
intestinal) terletak lebih dalam dan
memepunyai lebih banyak sel goblet dibanding dengan usus halus.
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri
dan kanan berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior mendarahi belahan kanan ( sekum, kolon
asendens, dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan Arteri mesenterika inferior mendarahi belahan kiri (sepertiga
distal kolon transversum, kolon desendens, kolon sigmoid, dan bagian proksimal
rektum). Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidalis media
dan inferior yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta
abdominalis.
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior
adalah melalui vena mesenterika superior, vena mesenterika inferior, dan vena
hemoroidalis superior( bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati).
Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga
merupakan bagian sirkulasi sistemik. Terdapat anastomosis antara vena
hemoroidalis superior,media dan inferior, sehingga tekanan portal yang
meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam vena dan
mengakibatkan hemoroid.
Persarafatan usus besar dilakukan oleh sistem saraf
otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian
voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah
kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai
bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medula spinalis melalui saraf
splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan
aortikorenalis, kemudian serabut pascaganglionik menuju kolon. Rasangan
simpatis menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan
parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Usus besar mempunyai berbagai
fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus.
b. Fisiologi
Fungsi utama
kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk membentuk feses yang
padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan. Setengah bagian
proksimal kolon berhubungan dengan absorbsi dan setengah distal kolon
berhubungan dengan penyimpanan. Karena sebagai 2 fungsi tersebut gerakan kolon
sangat lambat. Tapi gerakannya masih seperti usus halus yang dibagi menjadi
gerakan mencampur dan mendorong.
1) Gerakan
Mencampur “Haustrasi”
Gerakan
segmentasi dengan konstriksi sirkular yang besar pada kolon, ± 2.5 cm otot
sirkular akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen hampir tersumbat. Saat
yang sama, otot longitudinal kolon (taenia koli) akan berkontraksi. Kontraksi
gabungan tadi menyebabkan bagian usus yang tidak terangsang menonjol keluar
(haustrasi). Setiap haustrasi mencapai intensitas puncak dalam waktu ±30 detik,
kemudian menghilang 60 detik berikutnya, kadang juga lambat terutama sekum dan
kolon asendens sehingga sedikit isi hasil dari dorongan ke depan. Oleh karena
itu bahan feses dalam usus besar secara lambat diaduk dan dicampur sehingga
bahan feses secara bertahap bersentuhan dengan permukaan mukosa usus besar,
dan cairan serta zat terlarut secara progresif diabsorbsi hingga terdapat
80-200 ml feses yang dikeluarkan tiap hari.
2) Gerakan
Mendorong “Pergerakan Massa”
Banyak
dorongan dalam sekum dan kolon asendens dari kontraksi haustra yang lambat tapi
persisten, kimus saat itu sudah dalam keadaan lumpur setengah padat. Dari sekum
sampai sigmoid, pergerakan massa mengambil alih peran pendorongan untuk
beberapa menit menjadi satu waktu, kebanyakan 1-3 x/hari gerakan.
Selain itu,
kolon mempunyai kripta lieberkuhn tapi tidak ber-vili. menghasilkan mucus (sel
epitelnya jarang mengandung enzim). Mucus mengandung ion bikarbonat yang diatur
oleh rangsangan taktil langsung dari sel epitel dan oleh refleks saraf setempat
terhadap sel mucus Krista lieberkuhn. Rangsangan n. pelvikus dari medulla
spinalis yang membawa persarafan parasimpatis ke separuh sampai dua pertiga
bagian distal kolon. Mucus juga berperan dalam melindungi dinding kolon
terhadap ekskoriasi, tapi selain itu menyediakan media yang lengket untuk
saling melekatkan bahan feses. Lebih lanjut, mucus melindungi dinding usus dari
aktivitas bakteri yang berlangsung dalam feses, ion bikarbonat yang disekresi
ditukar dengan ion klorida sehingga menyediakan ion bikarbonat alkalis yang menetralkan
asam dalam feses. Mengenai ekskresi cairan, sedikit cairan yang dikeluarkan
melalui feses (100 ml/hari). Jumlah ini dapat meningkat sampai beberapa liter
sehari pada pasien diare berat.
3) Absorpsi
dalam Usus Besar
Sekitar 1500
ml kimus secara normal melewati katup ileosekal, sebagian besar air dan
elektrolit di dalam kimus diabsorbsi di dalam kolon dan sekitar 100 ml
diekskresikan bersama feses. Sebagian besar absorpsi di pertengahan kolon
proksimal (kolon pengabsorpsi), sedang bagian distal sebagai tempat penyimpanan
feses sampai akhirnya dikeluarkan pada waktu yang tepat (kolon
penyimpanan).
4) Absorbsi dan
Sekresi Elektrolit dan Air
Mukosa usus
besar mirip seperti usus halus, mempunyai kemampuan absorpsi aktif
natrium yang tinggi dan klorida juga ikut terabsorpsi. Ditambah epitel
di usus besar lebih erat dibanding usus halus sehingga mencegah difusi kembali
ion tersebut, apalagi ketika aldosteron teraktivasi. Absorbsi ion natrium
dan ion klorida menciptakan gradien osmotic di sepanjang mukosa usus besar yang
kemudian menyebabkan absorbsi air.
Dalam waktu
bersamaan usus besar juga menyekresikan ion bikarbonat (seperti penjelasan
diatas) membantu menetralisir produk akhir asam dari kerja bakteri didalam usus
besar.
5) Kemampuan
Absorpsi Maksimal Usus Besar
Usus besar
dapat mengabsorbsi maksimal 5-8 L cairan dan elektrolit tiap hari sehingga bila
jumlah cairan masuk ke katup ileosekal melebihi atau melalui sekresi usus besar
melebihi jumlah ini akan terjadi diare.
1) Kerja
Bakteri dalam kolon
Banyak bakteri,
khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon pengabsorpsi.
Bakteri ini mampu mencerna selulosa (berguna sebagai tambahan nutrisi), vitamin
(K, B₁₂, tiamin, riboflavin, dan bermacam
gas yang menyebabkan flatus di dalam kolon, khususnya CO₂, H₂, CH₄).
2) Komposisi
feses.
Normalnya
terdiri dari ³⁄₄ air
dan ¹⁄₄padatan (30% bakteri, 10-20% lemak,
10-20% anorganik, 2-3% protein, 30% serat makan yang tak tercerna dan edull
kering dari pencernaan (pigmen empedu, sel epitel terlepas). Warna coklat dari
feses disebabkan oleh sterkobilin dan urobilin yang berasal dari bilirubin yang
merupakan hasil kerja bakteri. Apabila empedu tidak dapat masuk usus, warna
tinja menjadi putih (tinja akolik). Asam organic yang terbantuk dari
karbohidrat oleh bakteri merupakan penyebab tinja menjadi asam (pH 5.0-7.0).
Bau feses disebabkan produk kerja bakteri (indol, merkaptan, skatol,
hydrogen sulfide). Komposisi tinja edulla tidak terpengaruh oleh variasi dalam
makanan karena sebagian besar fraksi massa feses bukan berasal dari makanan.
Hal ini merupakan penyebab mengapa selama kelaparan jangka panjang tetap
dikeluarkan feses dalam jumlah bermakna.
6) Proses Defekasi
Sebagian
besar waktu, rectum tidak berisi feses, hal ini karena adanya sfingter yang
lemah ±20 cm dari anus pada perbatasan antara kolon sigmoid dan rectum
serta sudut tajam yang menambah resistensi pengisian rectum. Bila terjadi
pergerakan massa ke rectum, kontraksi rectum dan relaksasi sfingter anus akan
timbul keinginan defekasi. Pendorongan massa yang terus menerus akan dicegah
oleh konstriksi tonik dari 1) sfingter ani interni; 2) sfingter ani eksternus.
Refleks
Defekasi. Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan rectum
mencapai 18 mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan
eksternus melemas dan isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi
adalah refleks intrinsic (diperantarai edull saraf enteric dalam dinding
rectum.
Ketika feses
masuk rectum, distensi dinding rectum menimbulkan sinyal aferen menyebar
melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltic dalam kolon
descendens, sigmoid, rectum, mendorong feses edulla anus. Ketika gelombang
peristaltic mendekati anus, sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal
penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani eksterni dalam keadaan
sadar berelaksasi secara edullar sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter
melemas sewaktu rectum teregang.
Sebelum
tekanan yang melemaskan sfingter ani eksternus tercapai, defekasi edullar dapat
dicapai dengan secara edullar melemaskan sfingter eksternus dan mengontraksikan
otot-otot abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan suatu reflex
spinal yang dengan sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter eksternus
tetap berkontraksi atau melemaskan sfingter dan megontraksikan otot abdomen.
Sebenarnya
stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai relfeks defekasi,
sehingga diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi parasimpatis (segmen
sacral medulla spinalis). Bila ujung saraf dalam rectum terangsang, sinyal akan
dihantarkan ke medulla spinalis, kemudian secara refleks kembali ke kolon
descendens, sigmoid, rectum, dan anus melalui serabut parasimpatis n. pelvikus.
Sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang peristaltic dan merelaksasi
sfingter ani internus. Sehingga mengubah refleks defekasi intrinsic menjadi
proses defekasi yang kuat.
Sinyal
defekasi masuk ke edulla spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil
napas dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi
feses dari kolon turun ke bawah dan saat bersamaan dasar pelvis mengalami
relaksasi dan menarik keluar cincin anus mengeluarkan feses.
(Evelyn. C Pearce, 2001)
- Etiologi
a) Genetik :
adanya mutasi proto-onkogen ras yang spesifik dari DNA yang didapatkan dari
feses pasien yang memiliki riwayat
kanker kolorektal juga tampak efektif sebagai mekanisme skrining (Mayer, 1998)
b) Usia :
puncaknya pada usia 60 dan 70 tahun. Kanker kolon jarang ditemukan di bawah
usia 40 tahun.
c) Polip rectal
d) Merokok
e) Makanan
rendah serat
f) Makanan
tinggi karbohidrat
g) Makanan
tinggi lemak, protein
- Klasifikasi
Metode
pentahapan yang dapat digunakan secara luas adalah klasifikasi Duke :
a) Kelas A –
tumor dibatasi pada mukosa dan submukosa
b) Kelas B –
penetrasi melalui dinding usus
c) Kelas C –
invasi kedalam sistem limfe yang mengalir regional
d) Kelas D –
metastasis regional tahap lanjut dan penyebaran yang luas
- Patofisiologi
Kanker kolon
dan rektum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus).
Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta
merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur sekitarnya. Sel kanker
dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (paling
sering ke hati).
Faktor
penting lain mungkin berkaitan dengan kebiasaan makan. Hal ini karena kanker
usu besar (seperti juga divertikulosis) terjadi sekitar 10 kali lebih banyak
pada penduduk wilayah barat yangg menggkonsumsi lebih banyak makanan
mengandungg karbohidrat murni dan rendah serat, dibandingkan pada penduduk
primitif (misal, di Afrika) yang mengkonsumsi makanan tinggi serat. Burkitt
(1971) mengemukakan bahwa diet rendah serat dan tinggi karbohidrat murni
mengakibatkan perubahan flora feses dan perubahan degradasi garam empedu atau
hasil pemecahan protein dan lemak, sebagaian zat ini bersifat karsinogenik.
Diet rendah serat juga menyebakan pemekatan zat berpotensi karsinogen ini
menjadi feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu, masa transit feses
meningkat. Akibatnya kontak zat berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus
bertambah lam. Penetilian awal menunjukkan bahwa diet makanan tinggi bahan
fitokimia mengandungg zat gizi seperti serat vitamin C,E dan karoten dapat
meninggkatkan fungsi kolon dan bersifat protektif dari mutagen yang menyebabkan
timbulnya kanker.
- Manisfestasi Klinis
Gejala
kanker usus besar yang paling sering adalah perubahan kebiasaan defekasi,
perdarahan, nyeri, anemia,anoreksia, dan penurunan berat badan. Gejala dan
tanda penyakit ini bervariasi sesuai dengan letak kanker dan sering dibagi
menjadi kanker yang mengenai bagian kanan dan kiri usus besar.
Karsinoma kolon kiri dan rektum
cenderung menyebabkan perubahan defekasi akibat iritasi dan respons refleks.
Sering terjadi diare,nyeri mirip – kejang dan kembung. Lesi pada kolon kiri
cenderung melingkar sehingga timbul gangguan obstruksi. Feses dapat kecil dan berbentuk seperti pita.
Baik mukus maupun darah segar sering terlihat pada feses. Dapat terjadi anemia
akibat kehilangan darah kronis. Pertumbuhan pada siggmoid atau rektum dapat
mengenai radiks saraf, pembuluh limfe, atau vena, menimbulkan gejala pada
tunggkai atau perineum. Hemoroid,nyeri pinggang bagian bawah, keinginan
defekasi, atau sering berkemihh dapat timbul akibat tekanan pada struktur
tersebut.
Karsinoma pada kolon kanan (isi
kolon berupa cairan) cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali. Terdapat
sedikit kecenderungan terjadi obstruksi karena lumen usus lebih besar dan feses
masih encer. Anemia akibat perdarahan seringg terjadi, dan darah bersifat samar
dan hanya dapat dideteksi dengan uji guaiak( suatu uji sederhana yang dapat
dilakukan di klink). Perdarahan dapat
bersifat intermiten, shhingga diindikasikan pemeriksaan endoskopi atau
radiografi usus besar bila terjadi anemia. Mukus jarangg terlihat, karena
tercmpur dalam feses. Pada orang kurus, tumor kolon kanan kadang dapat diraba,
tetapi tidak khas pada stadium awal. Penderita mungkin merasa tidak enak pada
abdomen, dan kadang pada epigastrium.
- Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan
rektal digital (rectal toucher)
Digunakan
untuk pemeriksaan rektu bagian bawah.
b) Uji guaiak
c) Pemeriksaan
sigmoidoskopi dengan biopsi atau apusan sitologi
Mengidentifikasi
kasus kanker kolorektal
d) Pemeriksaan
kolon total
e) Pemeriksaan
enema barium,dengan pemeriksaan ini akan bias ditemukan:
1)
Daerah transisi
2)
Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus
yang menyempit
f) Kolonoskopi
untuk mehghapus atau memeriksa kanker
g) Pemeriksaan
endoskopi
Dilakukan
pada pemeriksaan perdarahan yang bersifat intermiten
h) Radiografi
usus besar dilakukan bila terjadi anemia
i)
Pemeriksaan darah samar
8.
Penatalaksanaan
a)
Penatalaksanaan Medis
Pasien dengan gejala
obstruksi usus diobati dengan caiarn IV dan pengisapan nasogastrik.Apabila
terdapat perdarahan yang cukup bermagna, terapi komponen darah dapat diberikan. Pengobatan tergantung pada tahap penyakit dan komplikasi yang berhubungan.
Endoskopi,ultrasonografi, dan laparaskopi telah terbukti berhasil dalam
pentahapan kanker kolorektal pada periode praoperatif. Pengobatan medis untuk kanker kolorektal paling sering dalam bentuk
pendukung atau terapi ajufan, biasanya diberikan selain pengobatan bedah,
mecakup:
1) Kemoterapi
Terapi
ajufan standar yang diberikan untuk pasien dengan kanker kolon kelas C (invasi
kedalam sistem limfe yang mengalir regional) adalah program 5-FU/Levamesole,sedangkan pasien dengan
kanker rektal kelas B (penetrasi melalui dinding usus) dan C (invasi kedalam
sistem limfe yang mengalir regional) diberikan 5-FU dan metil CCNU dan dosis
tinggi radiasi pelvis. Kemoterapi ajuvan memberikan manfaat kelangsungan hidup
karena mengurangi tingkat kekambuhan terutama dalam 2 tahun pertama terapi
ajuvan, tetapi dengan beberapa keuntungan di tahun 3-4 (Sargent,2009).
2) Terapi
radiasi
Terapi
radiasi sekarang digunakan pada periode praoperatif, intraoperatif, dan
pascaoperatif untuk memperkecil tumor, mencapai hasil yang lebih baik dari
pembedahan, dan untuk mengurangi resiko kekambuhan. Untuk tumor yang tidak
dioperasi atau tidak dapat direseksi,
radiasi digunakan untuk menghilangkan gejala secarabermagna.
3) Imunoterapi
b)
Penatalaksanaan Bedah
Pembedahan adalah tindakan primer untuk
kebanyakan kanker kolon dan rektal. Pembedahan dapat bersifat kuratif atau
paliatif. Kanker yang terbatas pada satu sisi dapat diangkat dengan kolonoskop. Kolostomi laparoskopik dengan polipektomi
suatu prosedur yang dikembangkan untuk
meminimalkan luasnya pembedahan pada beberapa kasus. Laparaskop digunakan sebagai pedoman dalam membuat keputusan di
kolon:masa tumor kemudian dieksisi. Reseksi usus diindikasikan untuk kebanyakan
lesi kelas A dan semua kelas B, serta lesi C.Pembedahan kadang dianjurkan untuk
mengatasi kanker kolon kelas D. Tujuan pembedahan dalam situasi ini adalah
paliatif.
Tipe pembedahan tergantung pada lokasi dan
ukuran tumor. Prosedur pembedahan
pilihan adalah sebagai berikut(Doughty dan Jackson,1993).
1) Reseksi
segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus pada sisi
pertumbuhan, pembuluh darah, dan nodus limfatik).
2) Reseksi
abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen ( pngangkatan tumor dan
porsi sigmoid dan semua rektum serta sfingter anal).
3) Kolostomi
sementara diikuti dengan reseksi segmental dan anastomosis serta reanastomosis
lanjut dari kolostomi (memungkinkan dekompresi usul awal dan persiapan usus
sebelum reseksi).
4) Kolostomi
permanen atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi obstruksi yang tidak dapat
direseksi).
9. Komplikasi
Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan
obstruksi usus parsial atau lengkap. Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga
menyerang pembuluh darah sekitar kolon yang menyebabkan hemoragi. Perforasi
dapat terjadi dan mengakibatkan pembentukan abses. Peritonitis dan/atau sepsis
dapat menimbulkan syok.
B.
Konsep
keperawatan
- Pengkajian
a.
Nutrisi dan metabolik
Gejalanya : Hilangnya
napsu makan (anoreksia), penurunan berat badan), mual/muntah.
Tanda : Distensi abdomen
b.
Eliminasi dan defekasi
Gejalanya : adanya perubahan warna feses, sulit
uang air besar, nyeri saat buang air besar.
Tanda : melena,
konstipasi, distensi abdomen.
c.
Aktivitas dan istirahat
Gejalanya : Kelemahan, kelelahan,
malaise umum, sulit istirahat.
d. Sirkulasi
Tandanya
: Bradikardi, takipnue, anemia
e.
Nyeri atau kenyamanan
Gejalanya : Kram
abdomen, nyeri tekan pada saat defekasi.
Tanda : Otot tegang, gelisah.
2.
Diagnosa keperawatan
a.
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake makanan yang
kurang adekuat.
b.
Resiko infeksi b/d
adanya port de entrée luka pascabedah
c.
Resiko cedera b/d
pasca prosedur bedah kolostomi
d.
Nyeri b/d kerusakan
intergitas kulit, respon pembedahan.
e.
Intoleransi aktivitas b/d
cepat lelah, kelemahan fisik umum sekunder dari anemia.
f.
Gangguan citra diri b/d kolostomi
3.
Intervensi Keperawatan
a.
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake makanan yang
kurang adekuat.
Tujuan :
Setelah 3 x 24 jam pada pasien bedah dan 7 x 24 jam pada pasien pascabedah,
intake nutrisi dapat optimal dilaksanakan.
Kriteria
evaluasi : - Pasien dapat menunjukan metode menelan makanan yang tepat
-
Terjadi penurunan gejala
refluks esophagus, meliputi : odinofagia, pirosis berkurang, RR dalam batas
norma 12-20 x/menit.
-
Berat badan pada hari ke 7
setelah pascabedah meningkat optimal 0,5 kg.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Anjurkan pasien makan dengan
perlahan dan mengunyah makanan secara saksama.
2.
Fasilitas makanan dengan
diet biasa dengan kandungan serat tinggi.
3.
Berikan diet prabedah
4.
Lakukan perawatan mulut
5.
Kolaborasi dengan ahli gizi
jenis nutrizi yang akan digunakan.
|
Makanan dapat lewat dengan
mudah ke lambung
Kandungan serat tinggi dapat
membentuk massa feses yang optimal dan menurunkan kondisi diverkulosis
diverkulitis.
Diet tinggi kalori, rendah
residu biasanya diberikan selama beberapa hari sebelum pembedahan, bila waktu
dan konisi pasien memungkinkan.
Digunakan untuk menurunkan
risiko infeksi mulut
Pemberian gizi harus
diberikan sesuai kondisi pasien
|
b.
Resiko infeksi b/d
adanya port de entrée luka pascabedah
Resiko infeksi b/d adanya port de entrée luka
pascabedah
Tujuan :
dalam waktu 12 x 24 jam tidak terjadi infeksi, terjadi perbaikan pada
integritas jaringan lunak.
Kriteria
evaluasi : - Jahitan di lepas pada
hati ke 12 tanpa adanya tanda infeksi pada area luka
-
Leukosit dalam batas normal
-
TTV dalam batas normal
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Buat kondisi balutan dalam
keadaan bersih dan kering.
2.
Lakukan perawatan luka
steril pada hari ke 2 pascabedah dan
diulang 2 hari sekali pada luka abdomen.
3.
Lakukan perawatan luka pada
daerah drain.
4.
Tutup luka dengan kasa
steril dan tutup dengan plester adhesif
yang menyeluruh menutupi kasa.
|
Kondisi
ini akan menghindari kontraminasi komensal dan akan menyebabkan espon
inflamasi local, serta akan memperlama penyembuhan luka.
Perawatan
luka sebaiknya tidak seiap hari untuk menurunkan kontak tindakan dengan luka
yang dalam kondisi steril sehingga mencegah kontraminasi kuman ke luka bedah.
Drain
pascabedah merupakan material yang menjadi jalan masuk kuman.
Penutupan secara menyeluruh dapat menghindari kontaminasi dari benda atau
udara yang bersentuhan dengan luka bedah.
|
c.
Resiko cedera b/d
pasca prosedur bedah kolostomi
Resiko cedera b/d anemia, pasca prosedur bedah
kolestomi
Tujuan :
dalam waktu 2 x 24 jam pascaintervensi reseksi kolon, pasien tidak mengalami injuri.
Kriteria evaluaasi : - TTV dalam
batas normal
-
Kondisi kepatenan selang dada
optimal
-
Tidak terjadi infeksi pada
insisi
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji factor-faktor yang
menigkatkan resiko injuri.
2.
Monitor adanya kompikasi
pascabedah.
3.
Pertahankan status
hemodinamik yang optimal.
4.
Kolaborasi untuk pemberian
antibiotic pascabedah.
|
Pascabedah pasien akan
terdapat drain pada tubuh pasien. Keterampilan keperawatan kritis diperlukan
agar pengkajian vital dapat sistematis dilakukan.
Perawat memonitor adanya
komplikasi pascabedah seperti kebocoran dari sisi anatomis, prolaps stoma,
perforasi, retraksi stoma, impaksi fekal, dan iritasi kulit, serta komplikasi
paru yang berhubungan dengan bedah abdomen.
Pasien akan mendapatkan
cairan intravena sebagai pemeliharaan status hemodinamik.
Antibiotik menurunkan resiko
infeksi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan dapat memperlama
proses penyembuhan pasca- funduplikasi lambung.
|
d.
Nyeri b/d intergitas kulit, respon pembedahan
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam nyeri berkurang
Kriteria evaluasi : Secara subjektif nyeri berkurang
Skala
nyeri 0-1(04)
TTVdalam
batas normal, wajah pasien rileks
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Jelaskan dan bantu pasien
dengan tindakan pereda nyeri
nonfarmakologi dan noninvasif .
2.
Kaji nyeri dengan pendekatan
PQRST.
3.
Istirahatkan pasien pada
saat nyeri muncul.
4.
Atur posisi fisiologis
5.
Ajarkan teknik distraksi
saat nyeri
6.
Kolaberasi dengan pemberian
analgetik melalui intravena atau per oral
|
Pendekatan dengan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya yang telah
menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
Pendekatan PQRST dapat secara komprehensif menggali kondisi nyeri pasien.
Istirahat secara fisiologis akan menurunkan kebutuhan oksigen yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolism basal.
Pengaturan posisi semifowler dapat membantu merelaksasi otot-otot
abdomen.
Distraksi dapat menurunkan stimulus internal
Analgetik diberikan untuk membantu menghambat stimulus nyeri ke pusat
persepsi nyeri di korteks serebri sehingga nyeri dapat berkurang.
|
e.
Intoleransi b/d
cepat lelah, kelemahan fisik umum sekunder dari anemia
Tujuan :
dalam waktu 3 x 24 jam perawatan diri pasien optimal sesuai tingkat toleransi
individu
Kriteria
evaluasi : - Kebutuhan sehari-hari
pasien dapat terpenuhi
-
Tidak terjadi komplikasi
sekunder, seperti peningkatan frekuensi dan kelelahan berat setelah 3
menit pasien melakukan aktivitas
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji perubahan pada system
saraf pusat dan status kardiorespirasi
2.
Pantau respon individu
terhadap aktivitas.
3.
Berikan bantuan sesuai
tingkat toleransi (makan, minum, mani, berpakaian, eliminasi).
|
Identifikasi terhadap kondisi penurunan tingkat kesadaran, khususnya pada
pasien kanker dengan penurunan kalori berat.
Beberapa pasien dengan CA kolon lebih berhubungan dengan penurunan
metabolisme akibat anemia. Maka perlu di pantau TTV pasien, penghentian
aktivitas bila adanya respon nyeri.
Tekik penghemat energi menurunkan penggunaan energi
|
f.
Gangguan citra diri b/d kolostomi
Tujuan :
dalam waktu 1 x 24 jam terjadi
peningkatan gambaran diri. Pasien dapat mengidentifikasi perasaan dan metode
koping untuk persepsi negatif pada diri sendiri.
Kriteria evaluasi : -
pasien merasa harga dirinya naik, dan menggunakan
koping adaptif
-
Berkomunikasi dengan orang terdekat
tentang perubahan peran yang telah terjadi
-
Berpartisipasi dalam tim sebagai
upaya melaksanakan rehabilitasi.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Bina hubungan saling percaya dan
keterbukaan
2.
Kaji perasaan pasien saat ini
3.
Bantu pasien untuk melakukan
tindakan yang penting untuk mengubah respon maladaptif dan mempertahankan
respon koping yang adaptif.
4.
Observasi tingkat depresi
5.
Ber dukungan psikologis
6.
Kolaborasi dengan merujuk pasien
atau orang terdekat kesumber pendukung, contoh ahli terapi psikologis,
pekerja sosial, dan konseling keluarga.
|
Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina
hubungan terapeutik perawat-pasien.
Membantu perawat dalam mengidentifikasi tingkat
perasaan dari pasien.
Penggunaan koping yang adaptif membantu dalam proses
penyelesaian masalah klien.
Dengan mengobservasi tingkat depresi, maka rencana
perawatan selanjutnya disusun dengan tepat.
Bentuk dukungan psikologis dapat mempererat hubungan
perawat dan pasien dengan permasalahan yang sedang dihadapinya.
Pendekatan menyeluruh diperlukan untuk membantu
pasien menghadapi rehabilitasi dan kesehatan. Keluarga memerlukan bantuan
dalam pemahaman proses yang pasien lalui dan membantu mereka dalam emosi
mereka. Tujuannya dalah memampukan mereka untuk melawan kecenderungan untuk
menolak dari atau isolasi pasien dari kontak sosial.
|
4.
Discharge planning
a. Anjurkan
kepada pasien untuk tidak merokok.
b. Anjurkan
kepada pasien untuk menghindari makanan yang banyak mengandung zat-zat kimia.
c. Anjurkan
pasien untuk menghindari makanan yang tinggi lemak dan protein.
d. Anjurkan
kepada pasien untuk mengkonsumsi buah-buahan, sayur-sayuran dan cairan yang
cukup terutama air
e. Anjurkan
pasien untuk mengkonsumsi obat secara teratur sesuai dosis yang telah ditentukan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Karsinoma
atau kanker kolon ialah keganasan tumbuh lambat yang paling sering ditemukan
daerah kolon terutama pada sekum, desendens bawah, dan kolon sigmoid. Prognosa
optimistik; tanda dan gejala awal biasanya tidak ada.
Kanker
usus besar biasanya merupakan penyakit yang terjadi pada orang tua, dengan
insidensi puncak pada usia 60 tahun dan 70 tahun.
Penyebab nyata
dari kanker kolon dan rektal tidak diketahui, tetapi faktor resiko telah
teridentifikasi, termasuk riwayat atau riwayat kanker kolon atau polip dalam
keluarga, riwayat penyakit usus inflamasi kronis dan diet tinggi lemak, rotein
dan daging serta rendah serat.
B. Saran
Dengan adanya pembuatan makalah ini
di harapkan mahasiswa dapat memahami penyakit kanker colon dan juga dapat
mengerti bagaimana asuhan keperawatan yang di lakukan pada pasien dengan
penyakit sehingga mempermudah kita nantinya di lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar