Selasa, 05 Februari 2013

CA Colon


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Kolon (termasuk rektum) merupakan keganasan cairan cerna yang paling sering. Kanker kolon merupakan pnyebab ketiga dari semua kematian akibat kanker di Amerika Serikat, baik pada pria maupun wanita (America Cancer Society, 2001). Kanker usus besar biasanya merupakan penyakit yang terjadi pada orang tua, dengan insidensi puncak pada usia 60 tahun dan 70 tahun. Kanker kolon jarang ditemukan pada usia 40 tahun, kecuali pada orang yang memiliki riwayat kolitis ulseratif atau poliposis familial. Kedua jenis kelamin terserang dalam jumlah sama.
Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya, kira- kira setengah dari jumlah tersebut meninggal setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat pasien dapat diselamatkan dengan diagnosis dini dan tindakan segera. Angka kelangsungan hidup di bawah lima tahun adalah 40% sampai 50%, terutama karena terlambat dalam diagnosis dan adanya metastase. Kebanyakan orang asimtomatis dalam jangka waktu lama dan mencari bantuan kesehatan hanya bila mereka menemukan perubahan pada kebiasaan defekasi atau perdarahan rektal.
Penyebab nyata dari kanker kolon dan rektal tidak diketahui, tetapi faktor resiko telah teridentifikasi, termasuk riwayat atau riwayat kanker kolon atau polip dalam keluarga, riwayat penyakit usus inflamasi kronis dan diet tinggi lemak, rotein dan daging serta rendah serat.

B.     TUJUAN
1.      Tujuan Umum:
Mahasiswa dapat memahami  dan memberikan asuhan keperawatan dengan klien Kanker Colon.
2.      Tujuan Khusus:
a.       Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang konsep medis dari askep pada klien dengan Kanker Colon, yang konsepnya terdiri dari defenisi, anatomi dan fisiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, patoflowdiagram, manifestasi klinik, komplikasi, pemeriksaan diagnostik, dan penetalaksanaan medis.
b.      Mahasiswa dapat memahami, menentukan, dan menjelaskan tentang konsep keperawatan dari askep pada klien dengan Kanker Kolon, yang konsepnya terdiri dari pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan dan intervensi keperawatan (dengan rasionalnya).

BAB II
TINJAUN PUSTAKA

A.    KONSEP MEDIS
  1. Definisi
a.       Neoplasma / Kanker adalah pertumbuhan baru (atau tumor) massa yang tidak normal akibat proliferasi sel-sel yang beradaptasi tanpa memiliki keuntungan dan tujuan. Neoplasma terbagi atas jinak atau ganas. Neoplasma ganas disebut juga sebagai kanker(cancer). (SylviaA Price, 2005).
b.      Karsinoma atau kanker kolon ialah keganasan tumbuh lambat yang paling sering ditemukan daerah kolon terutama pada sekum, desendens bawah, dan kolon sigmoid. Prognosa optimistik; tanda dan gejala awal biasanya tidak ada. (Susan Martin Tucker,1998).
c.       Kanker kolon adalah suatu bentuk keganasan dari masa abnormal/neoplasma yang muncul dari jaringan epithelial dari colon (Brooker, 2001 : 72).
d.      Kanker kolon/usus besar adalah tumbuhnya sel kanker yang ganas di dalam permukaan usus besar atau rektum (Boyle & Langman, 2000 : 805).
e.       Kanker kolon adalah pertumbuhan sel yang bersifat ganas yang tumbuh pada kolon dan menginvasi jaringan sekitarnya (Tambayong, 2000 : 143).

  1. ANATOMI FISIOLOGI
a.       Anatomi

Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani.  Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil,yaitu sekitar 6,5 cm(2,5 inci) tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. Usus besar di bagi menjadi sekum,kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum kedalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus.
Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens, dan sigmoid. Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, dan hal ini merupakan alasan anatomis mengapa memosisikan penderita ke sisi kiri saat pemberian enema. Pada posisi ini gaya gravitasi membantu mengalirkan air dari rektum ke fleksura sigmoid. Bagian utama usus besar yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus ( muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut  sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci). 
Hampir semua usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti yang ditemukan pada usus lain. Namun demikian ,ada beberapa gambaran yang khas terdapat pada usus besar saja. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga pita yang di sebut sebagai taenia koli.  Taenia bersatu pada sigmoid distal, sehingga rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih pendek daripada usus, sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut sebagai haustra. Apendises epiploika adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan melekat di sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih  tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kripte Lieberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam  dan memepunyai lebih banyak sel goblet dibanding dengan usus halus.
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior mendarahi belahan kanan ( sekum, kolon asendens, dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan Arteri mesenterika inferior mendarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, kolon sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidalis media dan inferior yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis.
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena mesenterika superior, vena mesenterika inferior, dan vena hemoroidalis superior( bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik. Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior,media dan inferior, sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam vena dan mengakibatkan hemoroid.
Persarafatan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medula spinalis melalui saraf splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian serabut pascaganglionik menuju kolon. Rasangan simpatis menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus.

b.      Fisiologi
Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan. Setengah bagian proksimal kolon berhubungan dengan absorbsi dan setengah distal kolon berhubungan dengan penyimpanan. Karena sebagai 2 fungsi tersebut gerakan kolon sangat lambat. Tapi gerakannya masih seperti usus halus yang dibagi menjadi gerakan mencampur dan mendorong.

1)      Gerakan Mencampur “Haustrasi”
Gerakan segmentasi dengan konstriksi sirkular yang besar pada kolon, ± 2.5 cm otot sirkular akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen hampir tersumbat. Saat yang sama, otot longitudinal kolon (taenia koli) akan berkontraksi. Kontraksi gabungan tadi menyebabkan bagian usus yang tidak terangsang menonjol keluar (haustrasi). Setiap haustrasi mencapai intensitas puncak dalam waktu ±30 detik, kemudian menghilang 60 detik berikutnya, kadang juga lambat terutama sekum dan kolon asendens sehingga sedikit isi hasil dari dorongan ke depan. Oleh karena itu bahan feses dalam usus besar secara lambat diaduk dan dicampur sehingga bahan feses secara bertahap bersentuhan dengan permukaan mukosa usus besar, dan  cairan serta zat terlarut secara progresif diabsorbsi hingga terdapat 80-200 ml feses yang dikeluarkan tiap hari.
2)      Gerakan Mendorong “Pergerakan Massa”
Banyak dorongan dalam sekum dan kolon asendens dari kontraksi haustra yang lambat tapi persisten, kimus saat itu sudah dalam keadaan lumpur setengah padat. Dari sekum sampai sigmoid, pergerakan massa mengambil alih peran pendorongan untuk beberapa menit menjadi satu waktu, kebanyakan 1-3 x/hari gerakan.
Selain itu, kolon mempunyai kripta lieberkuhn tapi tidak ber-vili. menghasilkan mucus (sel epitelnya jarang mengandung enzim). Mucus mengandung ion bikarbonat yang diatur oleh rangsangan taktil langsung dari sel epitel dan oleh refleks saraf setempat terhadap sel mucus Krista lieberkuhn. Rangsangan n. pelvikus dari medulla spinalis yang membawa persarafan parasimpatis ke separuh sampai dua pertiga bagian distal kolon. Mucus juga berperan dalam melindungi dinding kolon terhadap ekskoriasi, tapi selain itu menyediakan media yang lengket untuk saling melekatkan bahan feses. Lebih lanjut, mucus melindungi dinding usus dari aktivitas bakteri yang berlangsung dalam feses, ion bikarbonat yang disekresi ditukar dengan ion klorida sehingga menyediakan ion bikarbonat alkalis yang menetralkan asam dalam feses. Mengenai ekskresi cairan, sedikit cairan yang dikeluarkan melalui feses (100 ml/hari). Jumlah ini dapat meningkat sampai beberapa liter sehari pada pasien diare berat.

3)      Absorpsi dalam Usus Besar
Sekitar 1500 ml kimus secara normal melewati katup ileosekal, sebagian besar air dan elektrolit di dalam kimus diabsorbsi di dalam kolon dan sekitar 100 ml diekskresikan bersama feses. Sebagian besar absorpsi di pertengahan kolon proksimal (kolon pengabsorpsi), sedang bagian distal sebagai tempat penyimpanan feses sampai akhirnya dikeluarkan pada waktu yang tepat (kolon  penyimpanan).
4)      Absorbsi dan Sekresi Elektrolit dan Air
Mukosa usus besar mirip seperti usus  halus, mempunyai kemampuan absorpsi aktif natrium yang tinggi dan klorida juga ikut terabsorpsi. Ditambah  epitel di usus besar lebih erat dibanding usus halus sehingga mencegah difusi kembali ion tersebut, apalagi ketika aldosteron teraktivasi.  Absorbsi ion natrium dan ion klorida menciptakan gradien osmotic di sepanjang mukosa usus besar yang kemudian menyebabkan absorbsi air.
Dalam waktu bersamaan usus besar juga menyekresikan ion bikarbonat (seperti penjelasan diatas) membantu menetralisir produk akhir asam dari kerja bakteri didalam usus besar.
5)      Kemampuan Absorpsi Maksimal Usus Besar
Usus besar dapat mengabsorbsi maksimal 5-8 L cairan dan elektrolit tiap hari sehingga bila jumlah cairan masuk ke katup ileosekal melebihi atau melalui sekresi usus besar melebihi jumlah ini akan terjadi diare.
1)      Kerja Bakteri dalam kolon
Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon pengabsorpsi. Bakteri ini mampu mencerna selulosa (berguna sebagai tambahan nutrisi), vitamin (K, B₁₂, tiamin, riboflavin, dan bermacam gas yang menyebabkan flatus di dalam kolon, khususnya CO, H, CH).
2)      Komposisi feses.
Normalnya terdiri dari ³⁄ air dan ¹⁄padatan (30% bakteri, 10-20% lemak, 10-20% anorganik, 2-3% protein, 30% serat makan yang tak tercerna dan edull kering dari pencernaan (pigmen empedu, sel epitel terlepas). Warna coklat dari feses disebabkan oleh sterkobilin dan urobilin yang berasal dari bilirubin yang merupakan hasil kerja bakteri. Apabila empedu tidak dapat masuk usus, warna tinja menjadi putih (tinja akolik). Asam organic yang terbantuk dari karbohidrat oleh bakteri merupakan penyebab tinja menjadi asam (pH 5.0-7.0).  Bau feses disebabkan produk kerja bakteri (indol, merkaptan, skatol, hydrogen sulfide). Komposisi tinja edulla tidak terpengaruh oleh variasi dalam makanan karena sebagian besar fraksi massa feses bukan berasal dari makanan. Hal ini merupakan penyebab mengapa selama kelaparan jangka panjang tetap dikeluarkan feses dalam jumlah bermakna.
6)      Proses Defekasi
Sebagian besar waktu, rectum tidak berisi feses, hal ini karena adanya sfingter yang lemah ±20 cm dari anus pada perbatasan antara kolon sigmoid  dan rectum serta sudut tajam yang menambah resistensi pengisian rectum. Bila terjadi pergerakan massa ke rectum, kontraksi rectum dan relaksasi sfingter anus akan timbul keinginan defekasi. Pendorongan massa yang terus menerus akan dicegah oleh konstriksi tonik dari 1) sfingter ani interni; 2) sfingter ani eksternus.
Refleks Defekasi. Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan rectum mencapai 18 mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan eksternus melemas dan isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah refleks intrinsic (diperantarai edull saraf enteric dalam dinding rectum.
Ketika feses masuk rectum, distensi dinding rectum menimbulkan sinyal aferen menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltic dalam kolon descendens, sigmoid, rectum, mendorong feses edulla anus. Ketika gelombang peristaltic mendekati anus, sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani eksterni dalam keadaan sadar berelaksasi secara edullar sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter melemas sewaktu rectum teregang.
Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksternus tercapai, defekasi edullar dapat dicapai dengan secara edullar melemaskan sfingter eksternus dan mengontraksikan otot-otot abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan suatu reflex spinal yang dengan sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter eksternus tetap berkontraksi atau melemaskan sfingter dan megontraksikan otot abdomen.
Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai relfeks defekasi, sehingga diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi parasimpatis (segmen sacral medulla spinalis). Bila ujung saraf dalam rectum terangsang, sinyal akan dihantarkan ke medulla spinalis, kemudian secara refleks kembali ke kolon descendens, sigmoid, rectum, dan anus melalui serabut parasimpatis n. pelvikus. Sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang peristaltic dan merelaksasi sfingter ani internus. Sehingga mengubah refleks defekasi intrinsic menjadi proses defekasi yang kuat.
Sinyal defekasi masuk ke edulla spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil napas dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi feses dari kolon turun ke bawah dan saat bersamaan dasar pelvis mengalami relaksasi dan menarik keluar cincin anus mengeluarkan feses.
(Evelyn. C Pearce, 2001)


  1. Etiologi
a)      Genetik : adanya mutasi proto-onkogen ras yang spesifik dari DNA yang didapatkan dari feses pasien  yang memiliki riwayat kanker kolorektal juga tampak efektif sebagai mekanisme skrining (Mayer, 1998)
b)      Usia : puncaknya pada usia 60 dan 70 tahun. Kanker kolon jarang ditemukan di bawah usia 40 tahun.
c)      Polip rectal
d)     Merokok
e)      Makanan rendah serat
f)       Makanan tinggi karbohidrat
g)      Makanan tinggi lemak, protein

  1. Klasifikasi
Metode pentahapan yang dapat digunakan secara luas adalah klasifikasi Duke :
a)      Kelas A – tumor dibatasi pada mukosa dan submukosa
b)      Kelas B – penetrasi melalui dinding usus
c)      Kelas C – invasi kedalam sistem limfe yang mengalir regional
d)     Kelas D – metastasis regional tahap lanjut dan penyebaran yang luas

  1. Patofisiologi
Kanker kolon dan rektum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (paling sering ke hati).
Faktor penting lain mungkin berkaitan dengan kebiasaan makan. Hal ini karena kanker usu besar (seperti juga divertikulosis) terjadi sekitar 10 kali lebih banyak pada penduduk wilayah barat yangg menggkonsumsi lebih banyak makanan mengandungg karbohidrat murni dan rendah serat, dibandingkan pada penduduk primitif (misal, di Afrika) yang mengkonsumsi makanan tinggi serat. Burkitt (1971) mengemukakan bahwa diet rendah serat dan tinggi karbohidrat murni mengakibatkan perubahan flora feses dan perubahan degradasi garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, sebagaian zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebakan pemekatan zat berpotensi karsinogen ini menjadi feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu, masa transit feses meningkat. Akibatnya kontak zat berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lam. Penetilian awal menunjukkan bahwa diet makanan tinggi bahan fitokimia mengandungg zat gizi seperti serat vitamin C,E dan karoten dapat meninggkatkan fungsi kolon dan bersifat protektif dari mutagen yang menyebabkan timbulnya kanker.

  1. Manisfestasi Klinis
Gejala kanker usus besar yang paling sering adalah perubahan kebiasaan defekasi, perdarahan, nyeri, anemia,anoreksia, dan penurunan berat badan. Gejala dan tanda penyakit ini bervariasi sesuai dengan letak kanker dan sering dibagi menjadi kanker yang mengenai bagian kanan dan kiri usus besar.
            Karsinoma kolon kiri dan rektum cenderung menyebabkan perubahan defekasi akibat iritasi dan respons refleks. Sering terjadi diare,nyeri mirip – kejang dan kembung. Lesi pada kolon kiri cenderung melingkar sehingga timbul gangguan obstruksi.  Feses dapat kecil dan berbentuk seperti pita. Baik mukus maupun darah segar sering terlihat pada feses. Dapat terjadi anemia akibat kehilangan darah kronis. Pertumbuhan pada siggmoid atau rektum dapat mengenai radiks saraf, pembuluh limfe, atau vena, menimbulkan gejala pada tunggkai atau perineum. Hemoroid,nyeri pinggang bagian bawah, keinginan defekasi, atau sering berkemihh dapat timbul akibat tekanan pada struktur tersebut.
            Karsinoma pada kolon kanan (isi kolon berupa cairan) cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali. Terdapat sedikit kecenderungan terjadi obstruksi karena lumen usus lebih besar dan feses masih encer. Anemia akibat perdarahan seringg terjadi, dan darah bersifat samar dan hanya dapat dideteksi dengan uji guaiak( suatu uji sederhana yang dapat dilakukan  di klink). Perdarahan dapat bersifat intermiten, shhingga diindikasikan pemeriksaan endoskopi atau radiografi usus besar bila terjadi anemia. Mukus jarangg terlihat, karena tercmpur dalam feses. Pada orang kurus, tumor kolon kanan kadang dapat diraba, tetapi tidak khas pada stadium awal. Penderita mungkin merasa tidak enak pada abdomen, dan kadang pada epigastrium.

  1. Pemeriksaan Diagnostik
a)      Pemeriksaan rektal digital (rectal toucher)
 Digunakan untuk pemeriksaan rektu bagian bawah.
b)      Uji guaiak
c)      Pemeriksaan sigmoidoskopi dengan biopsi atau apusan sitologi
Mengidentifikasi kasus kanker kolorektal
d)     Pemeriksaan kolon total
e)      Pemeriksaan enema barium,dengan pemeriksaan ini akan bias ditemukan:
1)      Daerah transisi
2)      Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
f)       Kolonoskopi untuk mehghapus atau memeriksa kanker
g)      Pemeriksaan endoskopi
Dilakukan pada pemeriksaan perdarahan yang bersifat intermiten
h)      Radiografi usus besar dilakukan bila terjadi anemia
i)        Pemeriksaan darah samar

8.      Penatalaksanaan
a)      Penatalaksanaan Medis
Pasien dengan gejala obstruksi usus diobati dengan caiarn IV dan pengisapan nasogastrik.Apabila terdapat perdarahan yang cukup bermagna, terapi komponen darah dapat diberikan. Pengobatan tergantung pada tahap penyakit dan komplikasi yang berhubungan. Endoskopi,ultrasonografi, dan laparaskopi telah terbukti berhasil dalam pentahapan kanker kolorektal pada periode praoperatif. Pengobatan medis untuk kanker kolorektal paling sering dalam bentuk pendukung atau terapi ajufan, biasanya diberikan selain pengobatan bedah, mecakup:
1)      Kemoterapi
Terapi ajufan standar yang diberikan untuk pasien dengan kanker kolon kelas C (invasi kedalam sistem limfe yang mengalir regional) adalah program  5-FU/Levamesole,sedangkan pasien dengan kanker rektal kelas B (penetrasi melalui dinding usus) dan C (invasi kedalam sistem limfe yang mengalir regional) diberikan 5-FU dan metil CCNU dan dosis tinggi radiasi pelvis. Kemoterapi ajuvan memberikan manfaat kelangsungan hidup karena mengurangi tingkat kekambuhan terutama dalam 2 tahun pertama terapi ajuvan, tetapi dengan beberapa keuntungan di tahun 3-4 (Sargent,2009).
2)      Terapi radiasi
Terapi radiasi sekarang digunakan pada periode praoperatif, intraoperatif, dan pascaoperatif untuk memperkecil tumor, mencapai hasil yang lebih baik dari pembedahan, dan untuk mengurangi resiko kekambuhan. Untuk tumor yang tidak dioperasi  atau tidak dapat direseksi, radiasi digunakan untuk menghilangkan gejala secarabermagna.
3)      Imunoterapi

b)      Penatalaksanaan Bedah
      Pembedahan adalah tindakan primer untuk kebanyakan kanker kolon dan rektal. Pembedahan dapat bersifat kuratif atau paliatif. Kanker yang terbatas pada satu sisi dapat diangkat dengan kolonoskop. Kolostomi laparoskopik dengan polipektomi suatu prosedur yang dikembangkan  untuk meminimalkan luasnya pembedahan pada beberapa kasus. Laparaskop digunakan sebagai pedoman dalam membuat keputusan di kolon:masa tumor kemudian dieksisi. Reseksi usus diindikasikan untuk kebanyakan lesi kelas A dan semua kelas B, serta lesi C.Pembedahan kadang dianjurkan untuk mengatasi kanker kolon kelas D. Tujuan pembedahan dalam situasi ini adalah paliatif.
      Tipe pembedahan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Prosedur  pembedahan pilihan adalah sebagai berikut(Doughty dan Jackson,1993).
1)      Reseksi segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus pada sisi pertumbuhan, pembuluh darah, dan nodus limfatik).
2)      Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen ( pngangkatan tumor dan porsi sigmoid dan semua rektum serta sfingter anal).
3)      Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi segmental dan anastomosis serta reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan dekompresi usul awal dan persiapan usus sebelum reseksi).
4)      Kolostomi permanen atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi obstruksi yang tidak dapat direseksi).

9.      Komplikasi
Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus parsial atau lengkap. Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga menyerang pembuluh darah sekitar kolon yang menyebabkan hemoragi. Perforasi dapat terjadi dan mengakibatkan pembentukan abses. Peritonitis dan/atau sepsis dapat menimbulkan syok.


B.     Konsep keperawatan
  1. Pengkajian
a.       Nutrisi dan metabolik
Gejalanya :            Hilangnya napsu makan (anoreksia), penurunan berat badan), mual/muntah.
Tanda       :            Distensi abdomen
b.      Eliminasi dan defekasi
Gejalanya :            adanya perubahan warna feses, sulit uang air besar, nyeri saat buang air besar.
Tanda       :            melena, konstipasi, distensi abdomen.
c.       Aktivitas dan istirahat
Gejalanya :            Kelemahan, kelelahan, malaise umum, sulit istirahat.
d.      Sirkulasi
Tandanya :            Bradikardi, takipnue, anemia
e.       Nyeri atau kenyamanan
Gejalanya :            Kram abdomen, nyeri tekan pada saat defekasi.
Tanda       :            Otot tegang, gelisah.
2.      Diagnosa keperawatan
a.       Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake makanan yang kurang adekuat.
b.      Resiko infeksi b/d adanya port de entrée luka pascabedah
c.       Resiko cedera b/d pasca prosedur bedah kolostomi
d.      Nyeri b/d kerusakan intergitas kulit, respon pembedahan.
e.       Intoleransi aktivitas b/d cepat lelah, kelemahan fisik umum sekunder dari anemia.
f.       Gangguan citra diri b/d kolostomi

3.      Intervensi Keperawatan
a.       Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake makanan yang kurang adekuat.
Tujuan : Setelah 3 x 24 jam pada pasien bedah dan 7 x 24 jam pada pasien pascabedah, intake nutrisi dapat optimal dilaksanakan.
Kriteria evaluasi : - Pasien dapat menunjukan metode menelan makanan yang tepat
-       Terjadi penurunan gejala refluks esophagus, meliputi : odinofagia, pirosis berkurang, RR dalam batas norma 12-20 x/menit.
-       Berat badan pada hari ke 7 setelah pascabedah meningkat optimal 0,5 kg.
Intervensi
Rasional
1.      Anjurkan pasien makan dengan perlahan dan mengunyah makanan secara saksama.
2.      Fasilitas makanan dengan diet biasa dengan kandungan serat tinggi.
3.      Berikan diet prabedah


4.      Lakukan perawatan mulut

5.      Kolaborasi dengan ahli gizi jenis nutrizi yang akan digunakan.
Makanan dapat lewat dengan mudah ke lambung



Kandungan serat tinggi dapat membentuk massa feses yang optimal dan menurunkan kondisi diverkulosis diverkulitis.
Diet tinggi kalori, rendah residu biasanya diberikan selama beberapa hari sebelum pembedahan, bila waktu dan konisi pasien memungkinkan.
Digunakan untuk menurunkan risiko infeksi mulut

Pemberian gizi harus diberikan sesuai kondisi pasien


b.      Resiko infeksi b/d adanya port de entrée luka pascabedah
Resiko infeksi b/d adanya port de entrée luka pascabedah
Tujuan : dalam waktu 12 x 24 jam tidak terjadi infeksi, terjadi perbaikan pada integritas jaringan lunak.
Kriteria evaluasi : -    Jahitan di lepas pada hati ke 12 tanpa adanya tanda infeksi pada area luka
-          Leukosit dalam batas normal
-          TTV dalam batas normal
Intervensi
Rasional
1.      Buat kondisi balutan dalam keadaan bersih dan kering.


2.      Lakukan perawatan luka steril pada hari ke 2 pascabedah  dan diulang 2 hari sekali pada luka abdomen.

3.      Lakukan perawatan luka pada daerah drain.

4.      Tutup luka dengan kasa steril dan tutup dengan plester adhesif  yang menyeluruh menutupi kasa.
Kondisi ini akan menghindari kontraminasi komensal dan akan menyebabkan espon inflamasi local, serta akan memperlama penyembuhan luka.

Perawatan luka sebaiknya tidak seiap hari untuk menurunkan kontak tindakan dengan luka yang dalam kondisi steril sehingga mencegah kontraminasi kuman ke luka bedah.


Drain pascabedah merupakan material yang menjadi jalan masuk kuman.

Penutupan secara menyeluruh dapat menghindari kontaminasi dari benda atau udara yang bersentuhan dengan luka bedah.

c.       Resiko cedera b/d pasca prosedur bedah kolostomi
Resiko cedera b/d anemia, pasca prosedur bedah kolestomi
Tujuan : dalam waktu 2 x 24 jam pascaintervensi reseksi kolon, pasien tidak mengalami injuri.
Kriteria evaluaasi : -    TTV dalam batas normal
-          Kondisi kepatenan selang dada optimal
-          Tidak terjadi infeksi pada insisi
Intervensi
Rasional
1.      Kaji factor-faktor yang menigkatkan resiko injuri.


2.      Monitor adanya kompikasi pascabedah.




3.      Pertahankan status hemodinamik yang optimal.

4.      Kolaborasi untuk pemberian antibiotic pascabedah.
Pascabedah pasien akan terdapat drain pada tubuh pasien. Keterampilan keperawatan kritis diperlukan agar pengkajian vital dapat sistematis dilakukan.

Perawat memonitor adanya komplikasi pascabedah seperti kebocoran dari sisi anatomis, prolaps stoma, perforasi, retraksi stoma, impaksi fekal, dan iritasi kulit, serta komplikasi paru yang berhubungan dengan bedah abdomen.

Pasien akan mendapatkan cairan intravena sebagai pemeliharaan status hemodinamik.

Antibiotik menurunkan resiko infeksi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan dapat memperlama proses penyembuhan pasca- funduplikasi lambung.



d.      Nyeri b/intergitas kulit, respon pembedahan
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam nyeri berkurang
Kriteria evaluasi : Secara subjektif nyeri berkurang
                              Skala nyeri 0-1(04)
                              TTVdalam batas normal, wajah pasien rileks
Intervensi
Rasional
1.      Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan  pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasif .

2.      Kaji nyeri dengan pendekatan PQRST.

3.      Istirahatkan pasien pada saat nyeri muncul.


4.      Atur posisi fisiologis


5.      Ajarkan teknik distraksi saat nyeri

6.      Kolaberasi dengan pemberian analgetik melalui intravena atau per oral
Pendekatan dengan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya yang telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri.


Pendekatan PQRST dapat secara komprehensif menggali kondisi nyeri pasien.

Istirahat secara fisiologis akan menurunkan kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolism basal.

Pengaturan posisi semifowler dapat membantu merelaksasi otot-otot abdomen.

Distraksi dapat menurunkan stimulus internal


Analgetik diberikan untuk membantu menghambat stimulus nyeri ke pusat persepsi nyeri di korteks serebri sehingga nyeri dapat berkurang.

e.       Intoleransi b/d cepat lelah, kelemahan fisik umum sekunder dari anemia
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam perawatan diri pasien optimal sesuai tingkat toleransi individu
Kriteria evaluasi : -     Kebutuhan sehari-hari pasien dapat terpenuhi
-          Tidak terjadi komplikasi sekunder, seperti peningkatan frekuensi dan kelelahan berat setelah 3 menit  pasien melakukan aktivitas
Intervensi
Rasional
1.      Kaji perubahan pada system saraf pusat dan status kardiorespirasi

2.      Pantau respon individu terhadap aktivitas.



3.      Berikan bantuan sesuai tingkat toleransi (makan, minum, mani, berpakaian, eliminasi).
Identifikasi terhadap kondisi penurunan tingkat kesadaran, khususnya pada pasien kanker dengan penurunan kalori berat.

Beberapa pasien dengan CA kolon lebih berhubungan dengan penurunan metabolisme akibat anemia. Maka perlu di pantau TTV pasien, penghentian aktivitas bila adanya respon nyeri.
Tekik penghemat energi menurunkan penggunaan energi




f.       Gangguan citra diri b/d kolostomi
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam terjadi peningkatan gambaran diri. Pasien dapat mengidentifikasi perasaan dan metode koping untuk persepsi negatif pada diri sendiri.
Kriteria evaluasi :  -    pasien merasa harga dirinya naik, dan menggunakan
koping adaptif
-          Berkomunikasi dengan orang terdekat tentang perubahan peran yang telah terjadi
-          Berpartisipasi dalam tim sebagai upaya melaksanakan rehabilitasi.
Intervensi
Rasional
1.      Bina hubungan saling percaya dan keterbukaan

2.      Kaji perasaan pasien saat ini


3.      Bantu pasien untuk melakukan tindakan yang penting untuk mengubah respon maladaptif dan mempertahankan respon koping yang adaptif.

4.      Observasi tingkat depresi

5.      Ber dukungan psikologis



6.      Kolaborasi dengan merujuk pasien atau orang terdekat kesumber pendukung, contoh ahli terapi psikologis, pekerja sosial, dan konseling keluarga.


Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat-pasien.

Membantu perawat dalam mengidentifikasi tingkat perasaan dari pasien.

Penggunaan koping yang adaptif membantu dalam proses penyelesaian masalah klien.





Dengan mengobservasi tingkat depresi, maka rencana perawatan selanjutnya disusun dengan tepat.
Bentuk dukungan psikologis dapat mempererat hubungan perawat dan pasien dengan permasalahan yang sedang dihadapinya.

Pendekatan menyeluruh diperlukan untuk membantu pasien menghadapi rehabilitasi dan kesehatan. Keluarga memerlukan bantuan dalam pemahaman proses yang pasien lalui dan membantu mereka dalam emosi mereka. Tujuannya dalah memampukan mereka untuk melawan kecenderungan untuk menolak dari atau isolasi pasien dari kontak sosial.




4.      Discharge planning
a.       Anjurkan kepada pasien untuk tidak merokok.
b.      Anjurkan kepada pasien untuk menghindari makanan yang banyak mengandung zat-zat kimia.
c.       Anjurkan pasien untuk menghindari makanan yang tinggi lemak dan protein.
d.      Anjurkan kepada pasien untuk mengkonsumsi buah-buahan, sayur-sayuran dan cairan yang cukup terutama air
e.       Anjurkan pasien untuk mengkonsumsi obat secara teratur sesuai dosis yang telah ditentukan.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Karsinoma atau kanker kolon ialah keganasan tumbuh lambat yang paling sering ditemukan daerah kolon terutama pada sekum, desendens bawah, dan kolon sigmoid. Prognosa optimistik; tanda dan gejala awal biasanya tidak ada. 
Kanker usus besar biasanya merupakan penyakit yang terjadi pada orang tua, dengan insidensi puncak pada usia 60 tahun dan 70 tahun.
Penyebab nyata dari kanker kolon dan rektal tidak diketahui, tetapi faktor resiko telah teridentifikasi, termasuk riwayat atau riwayat kanker kolon atau polip dalam keluarga, riwayat penyakit usus inflamasi kronis dan diet tinggi lemak, rotein dan daging serta rendah serat.

B.     Saran
Dengan adanya pembuatan makalah ini di harapkan mahasiswa dapat memahami penyakit kanker colon dan juga dapat mengerti bagaimana asuhan keperawatan yang di lakukan pada pasien dengan penyakit sehingga mempermudah kita nantinya di lapangan.


Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...